Cinta Dalam Kardus : Cinta Monyet Menggorilla
"Tulisan
ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film
"Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013."
“Kalau aku suka
sama seseorang, aku nggak akan pacaran sama dia. Takut nantinya ilfeel.”
“Aku suka sama
kamu.”
Di
depanku, ada sebuah kardus kecil berisi beberapa lembar surat yang tersisa,
novel favorite kami dan origami-origami kecil pembawa pesan, serta beberapa
benda lainnya. Hal pertama yang sangat terkenang adalah surat darinya.
Perasaannya. “bagiku cinta tak pernah semudah itu. Karena cinta tak sesederhana
memencet nomor telfonmu dan mengatakannya secara jelas,” kubaca kembali suratnya. Aku sendiri tak tahu pasti apa
sebab dari pertengkaran hebat kami, hingga akhirnya kata yang kusesali keluar
begitu saja. “Fine. Kita putus!” mungkin sekarang dia
ilfeel padaku seperti katanya dulu.
Aku tidak pernah menangis untuk seorang laki-laki, tidak kali ini. Ada yang
kosong, aku tahu sesuatu telah memecah pikiranku. Untuk beberapa hal yang
kukerjakan, aku menjadi tidak fokus. Sore itu, jum’at setelah kuucapkan kalimat
putus. Aku pulang dari perpustakaan kampus dengan membawa tas khusus yang
disediakan perpustakaan, sedang tasku sendiri kutinggalkan di loker. Aku baru
sadar ketika sampai di depan gerbang kos. Aku menjadi lebih sering diam dan
melamun, menghabiskan waktuku melihat langit dan tak melakukan apapun. Dengan
jarak yang sedemikian jauhnya, kutahu dia berada di bawah langit yang sama. Hatiku menjadi lebih tenang.
Aku
senang mengenang moment kebersamaan kami. Pertama kali dalam hidupku, aku
menunggu seseorang bertahun-tahun lamanya. Lebih dari 6 tahun kami saling
memendam perasaan. Lebih dari 6 tahun itu pula kami saling diam. Tidak tahu
kalimat apa yang harus diucapkan bila bertemu. Semua menjadi serba sulit. Sebuah
kesempatan datang dan forum kejujuran itu menjadi moment kami untuk saling
jujur. Aku masih ingat jelas perkataan Bram waktu itu. Pertama kali kami bertatap
muka sejak berpacaran. Dia tersenyum, lalu mengatakan kata yang mungkin akan
kukenang selama hidupku.
“Pertama
kali belajar renang, aku iri sama bebek yang punya selaput disela-sela jarinya.
Aku tidak punya, tapi ini pertama kalinya aku bersyukur karena tak punya. Aku bersyukur
karena dengan ini aku bisa menggenggam tanganmu.”
Aku
berusaha menahan perasaanku. Kalimatnya memecah kesunyian waku itu. Tapi
sudahlah, semua memang sudah berakhir. Sudah ada gadis lain yang siap
menggantikan posisiku. Di hari ulang tahunnya waktu itu, aku terjaga sepanjang
malam. Berkutat dengan handphone untuk menyusun ucapan selamat ulang tahun
padanya. Tapi sekali lagi, apa yang dia katakan adalah benar. Cinta itu tidak
pernah mudah, walau bahkan aku tahu kami bukan lagi apa-apa, hanyalah mantan
pacar. Akhirnya aku tak mengirim apapun di hari itu, tidak juga menelponnya.
Ada perasaan sakit ketika stalking
twitternya. Seorang gadis yang dekat dengannya memberi ucapan pertama di hari
itu. Aku. Seharusnya aku yang menjadi orang pertama.
Bukan
aku lagi yang menjadi alasannya mensyukuri jemari tanpa selaput. Ada gadis lain
bersamanya di dalam avatar twitternya. Kami bahkan tak pernah mengambil foto
bersama. Aku tak akan menangis untuk seorang kali-laki yang bukan siapa-siapa,
tidak dia. Cinta pertamaku, cinta monyet yang menggorilla, biar kukembalikan dia seperti semula, tak tercipta dan tak terasa.
Komentar
Posting Komentar